Kehidupan Sosial Budaya Nak Bali
Swastyastu sareng sami.... (Swastyastu semuanya...)
Kenken kabare? (Bagaimana kabarnya?)
Becik becik nggih? (Baik baik kan?)
Balik
lagi bersama saya di blog kita yang tercintaaa ini (mohon maaf admin lebay hehehe…). Kali ini kita akan
membahas “Sejarah Kehidupan Sosial Budaya Nak
Bali”. Kehidupan masyarakat di Bali dan kebudayaannya sangat lekat
terpengaruh oleh agama Hindu. Agama Hindu yang berkembang di Bali ini sudah
bercampur dengan unsur budaya asli. Salah satu contoh yang paling nyata dapat
dilihat adalah bahwa dewa tertinggi dalam agama Hindu-Buddha bukanlah Syiwa,
melainkan Sang Hyang Widhi yang sama kedudukannya dengan Sang Hyang Wenang di
Jawa.
Selain
itu, masyarakat Bali juga mengenal dewa-dewa setempat, seperti dewa air dan
dewa gunung (di Jawa kiranya sejajar dengan Grama Desa). Di bawah desa, mereka
juga memuja roh nenek moyang dan cikal bakal. Upacara penghormatan leluhur
disebut Pitra Yodnya.
Sebagai
tempat suci, dahulu digunakan candi. Tetapi, sejak berdirinya Kerajaan Gelgel
dan Klungkung, penggunaan candi sebagai tempat suci dihapus. Sebagai pengganti
fungsi candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering disebut pura.
Pada waktu upacara, dewa atau roh yang dipuja diturunkan dari surga dan
ditempatkan pada kuil untuk diberi sesaji sebagai penghormatan. Upacara itu,
misalnya, diadakan pada hari Kuningan (hari turunnya dewa dan pahlawan), pada
hari Galungan (menjelang Tahra dan Saka), dan hari Saraswati (pelindung
kesusastraan). Pura dalam lingkungan kerajaan disebut Pura Dalem, bentuknya
seperti candi Bentar dan dimaksudkan sebagai kuil kematian. Adapun untuk
keluarga raja dibuatkan pura khusus yang disebut Sanggah atau Merajan.
Di
Bali, dewa tidak dipatungkan. Patung-patung di Bali hanya berfungsi sebagai
hiasan. Adanya patung dewa di Bali diyakini sebagai bukti adanya pengaruh Jawa.
Di dalam kuil dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya
dewa atau roh nenek moyang yang telah menjalani prosesi ngaben.
Ngaben
adalah budaya pembakaran mayat atau tulang surga. Pembakaran mayat adalah suatu
kebiasaan di India yang diadaptasi di Bali. Roh yang telah menjalani upacara
ngaben dianggap telah suci. Ida Sang Hyang Widhi sebagai dewa tertinggi tidak
dibuatkan pura khusus, namun pada setiap kuil dibuatkan bangunan suci untuknya
berbentuk Padmasana atau Meru beratap dua.
Upacara Ngaben (pembakaran mayat) di Bali.
Masyarakat
Bali mengenal pembagian golongan atau kasta yang terdiri dari brahmana,
ksatria, dan waisya. Ketiga kasta tersebut dikenal dengan Triwangsa. Di luar
ketiga golongan tersebut masih ada lagi golongan yang disebutjaba, yaitu
anggota masyarakat yang tidak memegang pemerintahan. Tiap-tiap golongan
mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak sama dalam bidang keagamaan.
Pada masa pemerintahan Anak Wungsu,
dikenal adanya beberapa golongan pekerja khusus, di antaranyapande besi, pande
emas, danpande tembaga. Mereka bertugas membuat alat-alat pertanian, alat-alat
rumah tangga, senjata, perhiasan, dan sebagainya. Hubungan dengan Jawa sudah
ada sejak zaman pemerintahan Udayana dan Gunapriya, dibuktikan dengan adanya
prasasti-prasasti raja-raja Bali yang memakai bahasa Jawa Kuno. Jadi, pada
dasarnya, kehidupan sosial budaya Nak Bali
dipengaruhi oleh agama mayoritas di Bali,
yakni agama Hindu, walaupun demikian kami tetap saling menghormati satu sama
lain (dengan agama lain). Mengapa demikian? Cek postingan saya yang lainnya di blog
ini hehehe… Baik,
hanya itu saja yang dapat saya sampaikan. Sampai jumpa di postingan
yang selanjutnya :). Dan Suskma (Terima
Kasih).
Sumber:
Mantap
BalasHapusBangga dadi anak Bali
BalasHapusBangga jadi anak bali asli
BalasHapusNak bali
BalasHapus